Selasa, 01 Januari 2013

PD 207 - NIKAH TIDAK DILAKUKAN DIBAWAH PENGAWASAN PEGAWAI PENCACAT NIKAH DITINJAU DAR


NIKAH TIDAK DILAKUKAN DIBAWAH PENGAWASAN PEGAWAI PENCACAT NIKAH DITINJAU DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974

BAB I
PENDAHULUAN

A.      LATAR BELAKANG MASALAH
Allah SWT telah melengkapi manusia dengan nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis. Dalam rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada ini berjodoh jodoh, ada siang dan malam, ada bumi dan langit, ada surga dan neraka, ada pria dan wanita, dan sebagainya.
Dalam hal saling berjodoh pada manusia, pada dasarnya Allah berfirman :

Artinya :
Dan Allah menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan) (Q. S. Fathir : 11)

Manusia diciptakan oleh Allah sebagai makhluk sosial yang ingin berhubungan dengan manusia lain. Timbulnya hubungan ini didukung oleh keinginan hidupnya. Salah satu bentuk hubungan antar manusia untuk memenuhi kebutuhannya itu adalah dengan adanya hubungan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Kehidupap berkeluarga terjadi lewat perkawinan yang sah, baik menurut hukum agama maupun ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, sebagaimana dinyatakan dalam sprat Ar-Rum (21) :
Cli20A_Pic1
Artinya :
Dan diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q. S. Ar-Rum : 21).

Dari sini akan tercipta kehidupan yang hannonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang didambakan oleh setiap insan yang normal, sebagaimana Allah berfinnan :
Cli20A_Pic2 
Artinya :
Dan kawinlah orang-orang yanng sendirian diantara kamu dan orang­orang yang layak (untuk kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki, dan hamba-hambasahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan membuat mereka mampu dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q. S. An­Nur : 32).

Dalam Undang-Undang Perkawinan (UU Nomor 1 Tahun 1974) tuj uan perkawinan disebutkan dalam pasal 1, yakni :
"Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan kekal didasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"[1]

Perkawinan menurut Undang-undang nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang memberikan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan pernikahan itu sendiri.
Hal ini dituangkan dalam pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa : Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu. Dalam penjelasan UU Nomor I tahun 1974 Pasal 2 (1) dengan perumusan pasal ini tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan kepercayaanya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum masing-masing agama dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau ditentukan lain dengan Undang-Undang ini.
Tetapi dalam Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa : Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yangn berlaku. Bagi mereka yang tidak mau mematuhi, maka dia akan menanggung resiko yuridis. Resiko yuridis yang dimaksud adalah bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi mereka yang tidak mendaftarkan perkawinannya atau yang enggan melangsungkan perkawinannya dihadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka mereka akan dikenai sanksi berupa dikualifikasikan dalam perkawinan liar.[2]
Perkawinan yang dilakukan di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disebut dengan nikah siri. Perkawinan ini tidak tercatat di kantor urusan agama, sehingga suami istri tersebut tidak mempunyai surat nikah yang sah.
Biasanya orang yang dipercaya menikahkan dalam nikah siri adalah ulama atau mereka yang dipandang telah mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan). Alasan pernikahan siri biasanya untuk menjaga hal­hal yang tidak diinginkan dalam hubungan pria dan wanita yang sudah saling mencintai, sementara mereka belum slap berumah tangga atau karena ada alasan lain. Bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah siri merupakan bentuk alternatif pemecahan yang paling balk dalam mengatasi hal-hal yang menjurus pada larangan agama.
Namun demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mensahkan nikah siri, karena sebagai warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara yang baik, dengan mentaati perundangan-undangan yang berlaku.
Karena itu orang yang melakukan nikah siri, dalam pandangan perundang-undangan tetap disamakan dengan orang yang melakukan hubungan di luar nikah. Bahkan jika dan mereka lahir anak, maka anak tersebut juga dihukum sebagai anak di luar nikah.[3]
Di dalam pasal 5 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa :
"Agar terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus dicatat".[4]

Selanjutnya dikatakan dalam ketentuan pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa :
"Untuk memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah".[5]

Dengan bertumpu pada masalah nikah di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan penilaian yang selanjutnya akan diuraikan dalam bentuk skripsi yang berjudul "NIKAH TIDAK DILAKUKAN DIBAWAH PENGAWASAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (DITINJAU DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974)".

B.      PEMBATASAN MASALAH
Agar dalam penulisan skripsi ini mencapai sasaran yang diharapkan serta mengingat akan kemampuan penulis sangat terbatas, maka penulis membatasi dalam mengadakan pembahasan, yaitu :
DAFTAR PUSTAKA

A.Zuhdi Muhdlor, Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk). Al-Bayan Kelompok Penerbit Mizan, Yogyakarta, 1994.

Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1992.

Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Yogyakarta, 1994.

Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta Indonesia, 1974.

Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, BPFE,Yogyakarta, 1984.

Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Pustaka Muhammadiyah, Jakarta, 1964.

M.Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.

Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum, Universitas Indonesia, Jakarta, 1885.

Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, PT. Al-Ma-arif, Bandung, Undand-Undang Perkawinan, Gita Media Pres, Yogyakarta.


Untuk mendapatkan file skripsi / Thesis / PTK / PTS lengkap (Ms.Word),
hubungi : 081 567 745 700


[1] Undang- undang Perkawinan,  Gita Media Press, Yogyakarta, hal. 1
[2] M.Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.

[3] A.Zuhdi Muhdlor, Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk). Al-Bayan Kelompok Penerbit Mizan, Yogyakarta, 1994.
[4] Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1992.
[5] Ibid 

0 komentar:

Posting Komentar