NIKAH TIDAK DILAKUKAN
DIBAWAH PENGAWASAN PEGAWAI PENCACAT NIKAH DITINJAU DARI SEGI HUKUM ISLAM DAN
UNDANG- UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG MASALAH
Allah SWT telah melengkapi manusia
dengan nafsu syahwat, yakni keinginan untuk menyalurkan kebutuhan biologis.
Dalam rangka itu, Allah pun telah menciptakan segala sesuatu yang ada ini
berjodoh jodoh, ada siang dan malam, ada bumi dan langit, ada surga dan neraka,
ada pria dan wanita, dan sebagainya.
Dalam hal saling berjodoh pada
manusia, pada dasarnya Allah berfirman :
Artinya :
Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah kemudian dari air mani, kemudian Dia menjadikan
kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan) (Q. S. Fathir : 11)
Manusia diciptakan oleh Allah
sebagai makhluk sosial yang ingin berhubungan dengan manusia lain. Timbulnya
hubungan ini didukung oleh keinginan hidupnya. Salah satu bentuk hubungan antar
manusia untuk memenuhi kebutuhannya itu adalah dengan adanya hubungan
perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri.
Kehidupap berkeluarga terjadi lewat perkawinan
yang sah, baik menurut hukum agama maupun ketentuan perundangan-undangan yang
berlaku, sebagaimana dinyatakan dalam sprat Ar-Rum (21) :
Artinya :
Dan diantara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Q. S. Ar-Rum :
21).
Dari sini akan tercipta kehidupan
yang hannonis, tentram dan sejahtera lahir batin yang didambakan oleh setiap
insan yang normal, sebagaimana Allah berfinnan :
Artinya :
Dan kawinlah
orang-orang yanng sendirian diantara kamu dan orangorang yang layak (untuk
kawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki, dan hamba-hambasahayamu yang
perempuan. Jika mereka miskin Allah akan membuat mereka mampu dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q. S. AnNur
: 32).
Dalam Undang-Undang Perkawinan (UU
Nomor 1 Tahun 1974) tuj uan perkawinan disebutkan dalam pasal 1, yakni :
"Perkawinan
ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai
suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga ( rumah tangga ) yang bahagia dan
kekal didasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa"[1]
Perkawinan menurut Undang-undang
nomor 1 Tahun 1974 tidak hanya sekedar sebagai suatu perbuatan hukum yang
memberikan akibat-akibat hukum, akan tetapi juga merupakan perbuatan keagamaan,
sehingga sah tidaknya suatu perkawinan ditentukan menurut hukum agama dan
kepercayaan masing-masing orang yang melangsungkan pernikahan itu sendiri.
Hal ini dituangkan dalam pasal 2
ayat (1) Undang-Undang Perkawinan nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa :
Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan
kepercayaan itu. Dalam penjelasan UU Nomor I tahun 1974 Pasal 2 (1) dengan
perumusan pasal ini tidak ada perkawinan diluar hukum masing-masing agama dan
kepercayaanya itu sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Yang dimaksud dengan hukum
masing-masing agama dan kepercayaan itu termasuk ketentuan perundang-undangan
yang berlaku bagi golongan agama dan kepercayaannya itu sepanjang tidak
bertentangan atau ditentukan lain dengan Undang-Undang ini.
Tetapi dalam Undang-Undang
Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 2 ayat (2) menyebutkan bahwa : Tiap-tiap
perkawinan dicatat menurut peraturan perundangan yangn berlaku. Bagi mereka
yang tidak mau mematuhi, maka dia akan menanggung resiko yuridis. Resiko
yuridis yang dimaksud adalah bahwa perkawinan yang dilakukan diluar pengawasan
Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak mempunyai kekuatan hukum. Bagi mereka yang
tidak mendaftarkan perkawinannya atau yang enggan melangsungkan perkawinannya
dihadapan Pegawai Pencatat Nikah, maka mereka akan dikenai sanksi berupa
dikualifikasikan dalam perkawinan liar.[2]
Perkawinan yang dilakukan di luar
pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) disebut dengan nikah siri. Perkawinan
ini tidak tercatat di kantor urusan agama, sehingga suami istri tersebut tidak
mempunyai surat nikah yang sah.
Biasanya orang yang dipercaya
menikahkan dalam nikah siri adalah ulama atau mereka yang dipandang telah
mengetahui hukum-hukum munakahat (pernikahan). Alasan pernikahan siri biasanya
untuk menjaga halhal yang tidak diinginkan dalam hubungan pria dan wanita yang
sudah saling mencintai, sementara mereka belum slap berumah tangga atau karena
ada alasan lain. Bahkan sementara kalangan berpendapat, nikah siri merupakan
bentuk alternatif pemecahan yang paling balk dalam mengatasi hal-hal yang
menjurus pada larangan agama.
Namun demikian, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak mensahkan nikah siri, karena sebagai
warga negara Indonesia, umat Islam juga dituntut untuk menjadi warga negara
yang baik, dengan mentaati perundangan-undangan yang berlaku.
Karena itu orang yang melakukan
nikah siri, dalam pandangan perundang-undangan tetap disamakan dengan orang
yang melakukan hubungan di luar nikah. Bahkan jika dan mereka lahir anak, maka
anak tersebut juga dihukum sebagai anak di luar nikah.[3]
Di dalam pasal 5 ayat 1 Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia ditegaskan bahwa :
"Agar
terjamin ketertiban perkawinan bagi masyarakat Islam setiap perkawinan harus
dicatat".[4]
Selanjutnya dikatakan dalam
ketentuan pasal 6 ayat 1 Kompilasi Hukum Islam di Indonesia bahwa :
"Untuk
memenuhi ketentuan dalam pasal 5, setiap perkawinan harus dilangsungkan di
hadapan dan di bawah pengawasan Pegawai Pencatat Nikah".[5]
Dengan bertumpu pada masalah nikah
di luar pengawasan Pegawai Pencatat Nikah (PPN) di atas, maka penulis tertarik
untuk melakukan penilaian yang selanjutnya akan diuraikan dalam bentuk skripsi
yang berjudul "NIKAH TIDAK
DILAKUKAN DIBAWAH PENGAWASAN PEGAWAI PENCATAT NIKAH (DITINJAU DARI SEGI HUKUM
ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NO.1 TAHUN 1974)".
B.
PEMBATASAN MASALAH
Agar dalam penulisan skripsi ini
mencapai sasaran yang diharapkan serta mengingat akan kemampuan penulis sangat
terbatas, maka penulis membatasi dalam mengadakan pembahasan, yaitu :
DAFTAR PUSTAKA
A.Zuhdi Muhdlor, Hukum Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk).
Al-Bayan Kelompok Penerbit Mizan, Yogyakarta, 1994.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, Jakarta,
Akademika Pressindo, 1992.
Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia, Yogyakarta, 1994.
Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, Bulan
Bintang, Jakarta Indonesia, 1974.
Mawardi, Hukum Perkawinan Dalam Islam, BPFE,Yogyakarta, 1984.
Mahmud Yunus, Hukum Perkawinan Dalam Islam, Pustaka
Muhammadiyah, Jakarta, 1964.
M.Yahya Harahap, Informasi Materi Kompilasi Hukum Islam :
Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam, Pradnya
Paramita, Jakarta, 1999.
Soerjono Soekamto, Pengantar Penelitian Hukum,
Universitas Indonesia, Jakarta, 1885.
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, PT. Al-Ma-arif, Bandung, Undand-Undang
Perkawinan, Gita Media Pres, Yogyakarta.
Untuk mendapatkan file skripsi /
Thesis / PTK / PTS lengkap (Ms.Word),
hubungi : 081 567 745 700
[1]
Undang- undang Perkawinan, Gita Media
Press, Yogyakarta, hal. 1
[2] M.Yahya Harahap, Informasi
Materi Kompilasi Hukum Islam : Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam,
Kompilasi Hukum Islam, Pradnya Paramita, Jakarta, 1999.
[3] A.Zuhdi Muhdlor, Hukum
Perkawinan (Nikah, Talak, Cerai dan Rujuk). Al-Bayan Kelompok Penerbit
Mizan, Yogyakarta, 1994.
[4] Abdurrahman, Kompilasi
Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Akademika Pressindo, 1992.
[5]
Ibid
0 komentar:
Posting Komentar