Senin, 12 November 2012

PTS 25- STUDI EVALUATIF IMPLEMENTASI PROGRAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH


STUDI EVALUATIF IMPLEMENTASI PROGRAM MANAJEMEN
BERBASIS SEKOLAH
(STUDI KASUS PADA SMP NEGERI 229 JAKARTA)

BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Salah satu permasalahan pendidikan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya mutu pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan. Sebab permasalahan yang acap muncul ke permukaan adalah rendahnya produk (keluaran) atau hasil pendidikan. Lembaga pendidikan tinggi berpendapat bahwa rendahnya mutu keluarannya adalah akibat rendahnya mutu masukannya, yaitu dari pendidikan SMA/SMK. Lembaga pendidikan di SMA/SMK mengatakan bahwa rendahnya kualitas keluarannya adalah akibat dari masukan yang diterima dari SMP kualitasnya rendah. Dan seterusnya, pada akhirnya yang menjadi sasaran kritik adalah mutu pendidikan Sekolah Dasar. Kualitas hasil belajar yang relatif rendah dapat disebabkan oleh berbagai faktor yang berperan dalam proses pendidikan selama siswa mengikuti program pada jenjang dan jenis pendidikan yang dipilihnya.
Terlepas dari hal tersebut, tinggi rendahnya kualitas pendidikan di sekolah, tergantung pada tinggi rendahnya kualitas faktor-faktor yang mempengaruhinya. Beberapa indikator esensial  yang sangat menentukan mutu pendidikan di sekolah antara lain : siswa, kurikulum, sarana prasarana, tenaga kependidikan, pengelolaan atau manajemen dan lingkungan. Salah satu indikator kualitas pendidikan di sekolah adalah kualitas manajemen sekolah. Manajemen berkaitan erat antara pencapaian tujuan dan cara memanfaatkan sumber-sumber daya yang dapat digunakan.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional berbagai usaha telah dilakukan pemerintah antara lain melalui berbagai pelatihan dan kompetensi guru, pengadaan buku-buku dan alat pelajaran, perbaikan sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. Namun demikian, berbagai indikator mutu pendidikan belum menunjukkan peningkatan yang signifikan. Sebagian sekolah, terutama di kota-kota, menunjukkan peningkatan mutu pendidikan yang cukup menggembirakan, namun sebagian besar lainnya masih memprihatinkan (Depdiknas,2001:3). Sekolah sabagai institusi pendidikan merupakan tempat proses pendidikan. Kegiatan intinya adalah mengelola sumber daya manusia serta meningkatkan derajat kehidupan masyarakat. Sebagai lembaga penyelenggara pendidikan, sekolah merupakan sistem yang memiliki berbagai perangkat dan unsur yang saling berkaitan yang memerlukan pemberdayaan. Konsep pemberdayaan itu bentuknya adalah memberikan otonomi yang lebih luas dalam memecahkan masalahnya sendiri di sekolah. Oleh karena itu, diperlukan suatu perubahan kebijakan di bidang manajemen pendidikan berskala nasional dengan implementasinya difokuskan pada prinsip memberikan kewenangan mengelola dan mengambil keputusan sesuai tuntutan dan kebutuhan sekolah akan mutu yang ditentukan sebelumnya (sagala,2004:5).
Sejak tahun 1999, Direktorat Pendidikan lanjutan Tingkat Pertama telah menerapkan pendekatan baru dalam mengelola sekolah, dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) (Depdiknas,2002:1). Penerapan MBS didorong oleh kenyataan bahwa penyelenggaraan pendidikan nasional yang dilakukan secara sentralistik telah menyebabkan terjadinya kesalahan pengelolaan pada kebanyakan sekolah.
Beberapa model Manajemen Berbasis Sekolah (MBS)  menunjukkan adanya kemiripan di beberapa negara (Nukolis, 2003:86-87). Di suatu negara MBS hanya menekankan  satu atau beberapa aspek, seperti di Hongkong menekankan pada inisiatif sekolah , di Kanada MBS menekankan pada aspek pengambilan keputusan pada tingkat sekolah, di Amerika Serikat menekankan pengelolaan sekolah di tingkat  sekolah itu sendiri, dan di Inggris menekankan pengelolaan dana pada tingkat sekolah. Sementara itu, di Australia model MBS adalah menekankan pada pemberian kewenangan sekolah dalam hal-hal kurikulum, fleksibilitas penggunaan sumber daya sekolah, dan beberapa alternatif pengelolaan sekolah. Di Perancis model MBS memberikan partisipasi yang lebih besar pada badan pengelola sekolah. Sementara di Nikaragua model MBS mendorong sekolah otonom dalam bidang personel, anggaran, kurikulum, dan paedagogi. Ada pula model MBS yang memfokuskan pada anggaran yang berbasis sekolah (shool-Based Budget) seperti di Selandia Baru. Pelibatan orang tua siswa dan masyarakat dalam pengelolaan sekolah menjadi pilihan Model MBS di Elsavador. Di Madagaskar model MBS difokuskan pada tingkat pendidikan dasar dengan melibatkan peran serta masyarakat. Sementara itu, model MBS di Indonesia memfokuskan pada mutu yang dikenal dengan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Model manajemen MBS memberikan otonomi lebih besar kepada sekolah, memberikan fleksibilitas atau keluwesan lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumber daya sekolah, dan mendorong sekolah meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan mutu sekolah atau untuk mencapai tujuan mutu sekolah dalam kerangka pendidikan nasional.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah sektor pendidikan khususnya sekolah-sekolah dalam pengelolaannya mengacu pada Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Pengelola-pengelola pendidikan di sekolah dituntut lebih kreatif dan inovatif tidak lagi seperti tahun-tahun sebelumnya hanya menunggu kebijakan-kebijakan atasan/pusat. Penyelenggaran Manajemen Berbasis Sekolah sebagai upaya untuk menjawab segala kekurangan penyelenggaraan pendidikan secara birokratik-sentralistik. Tujuan apa yang ingin dicapai secara lokal di samping tujuan nasional, apa kebutuhan sekolah, apa harapan masyarakat, bagaimana kemampuan masyarakat, bagaimana peran serta seluruh stake holder yang ada hanya diketahui jelas oleh sekolah. Bertitik tolak dari hal itulah penyelenggaraan Manajemen Berbasis Sekolah menjadi keharusan.
Keharusan itu bertujuan meningkatkan mutu pendidikan yang selama ini belum berhasil ditingkatkan. Ada tiga faktor mengapa upaya peningkatan mutu sampai lini tidak mengalami peningkatan secara merata. Faktor-faktor ini adalah : (1) strategi pembangunan pendidikan nasional selama ini menggunakan pendekatan education production function (input-output analysis). (2) penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratik-sentralistik, dan (3) peran serta masyarakat, khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim.
Dalam Manajemen Berbasis Sekolah, seluruh komponen sekolah diarahkan oleh visi sekolah yang disusun bersama dan digerakkan untuk menyelenggarakan misi sekolah. Setiap komponen sekolah melaksanakan tugas dan tanggung jawab diri sebaik-baiknya yang pada nantinya menjadi prasyarat pencapaian pelalsanaan dan tanggung jawab sekolah. Dalam kaitan ini harus ada interaksi komunikatif antar  dan inter komponen sekolah dari berbagai aspeknya, komponen (Kepala Sekolah, guru, pegawai, siswa, komite sekolah, instansi terkait, tokoh masyarakat industri di sekitar sekolah dan lain-lain) aspek kualifikasi, kepemimpinan, kebutuhan, motif kerja maupun yang lain-lainnya.
Atas dasar uraian-uraian yang telah dikemukakan di atas dapat diambil suatu pengertian bahwa mutu pendidikan nasional yang tidak merata selama ini perlu dilakukan upaya-upaya perbaikan salah satunya adalah melakukan reorientasi penyelenggaraan pendidikan, yaitu dari manajemen peningkatan mutu berbasis pusat menuju manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) adalah merupakan suatu model manajemen yang memberikan otonomi yang lebih luas kepada sekolah dan mendorong pengambilan keputusan partisipatif yang melibatkan sacara langsung semua warga sekolah (guru, siswa, kepala sekolah, pegawai, orang tua siswa, dan masyarakat) untuk meningkatkan mutu sekoah berdasarkan kebijakan pendidikan nasional.
Yang menjadi permasalahan di sini adalah, seberapa efektivitas implementasi program MBS dan kendala-kendala apa yang dihadapi serta bagaimana solusinya dalam mengimplementasikan Manajemen Berbasis Sekolah.
                               
1.2    Identifikasi Masalah
Sejak model MBS ini dilaksanakan yaitu mulai tahun 1999, dalam implementasinya masih banyak personalia sekolah yang belum memahami konsep MBS. Masih banyak dijumpai di lapangan dan telah mendapat sorotan yang tajam dari berbagai media massa bahwa dalam manajemen sekolah belum tampak adanya keterbukaan dalam manajemen apabila lagi menyangkut masalah keuangan, masih banyak terlihat kekurangmandirian sekolah sabagaimana yang diharapkan oleh model MBS, belum tampak adanya upaya optimal memanfaatkan dan memberdayakan sumber daya manusia yang ada di sekolah termasuk orang tua siswa dan stakeholder dalam manajemen sekolah. Inovasi dan kreativitas dari submber daya manusia yang ada di sekolah belum menunjukkan tanda-tanda yang positif. Masih banyak fenomena-fenomena yang terjadi di lapangan yang belum sesuai sebagaimana yang diamanatkan oleh model manajemen sekolah MBS.

Untuk mendapatkan file skripsi / Thesis / PTK / PTS lengkap (Ms.Word),
hubungi : 081 567 745 700

0 komentar:

Posting Komentar